Tulang Rusuk Merindukan Nahkoda
Mini Tuminih
Manyeo
Shinmaeri
Pemesanan melalui: Shin Mae Ri
Line: Shin Mae Ri
WA: 087867562363
===
Shin Yun Na, gadis dingin keras kepala yang sangat membenci pria. Yang mendapatkan julukan manyeo (penyihir) bertemu dengan Kyu Hyun dalam sebuah kecelakaan kecil. Dan tanpa diduga dia menawarkan pekerjaan yang terdengar gila kepada Kyu Hyun. Gadis itu meminta Kyu Hyun untuk menghamilinya.
Cho Kyu Hyun, mahasiswa kedokteran yang mengalami nasib sial bisa berurusan dengan Yun Na. Dia tak bisa mengelak dari tawaran gila wanita itu ketika dia dihadapkan dengan pilihan sulit lainnya. Awalnya dia membenci wanita itu, tapi semua berubah ketika dia mengetahui alasan di balik sifat dingin dan kejam Yun Na. Membuat dia bertekad untuk mengubah gadis itu.
Park Hyo Rin, saudara tiri Yun Na yang sangat serakah akan harta. Dia berambisi dan berniat menghancurkan Yun Na. Dia menggaet Choi Si Won sebagai suaminya untuk memuluskan semua rencana jahatnya.
Apa alasan Yun Na mempekerjakan Kyu Hyun? Mengapa dia begitu berambisi untuk memiliki anak sesegera mungkin? Mampukah Kyu Hyun mengubah sifat manyeo Yun Na? Apakah ayahnya mau menerima anak Yun Na, yang notabenenya anak di luar pernikahan? Apa yang akan dilakukan Hyo Rin untuk menghancurkan Yun Na dan bayinya? Bisakah Yun Na bertahan mempertahankan bayinya?
She is Bodyguard
Riantie A
Untuk pemesanan silakan hubungi penulisnya di 082294632322, Yanti
===
Semenjak kebebasannya dari kehidupan kelam, Rachel sekarang melewati harinya dengan tenang. Untuk pertama kalinya, ia dapat memutuskan melakukan apa pun yang ia inginkan; bersekolah, mempunyai teman yang ia tidak takut akan kehilangan lagi. Hidup yang benar-benar ia impikan dari dulu.
Namun hidupnya kembali berubah kala bertemu dengan Aaron, cowok super kaya, dingin yang suka mempermainkannya. Anak pemilik tempat Rachel bersekolah. Tapi setelah mengalami beberapa hal bersama, laki-laki itu memutuskan untuk menjadikan Rachel sebagai bodyguardnya.
Akankah Rachel menyetujui ajakan
-lebih tepatnya- perintah Aaron kepadanya? Pekerjaan yang ia tahu akan berhubungan kembali dengan masa lalunya yang kelam.
EVIL
by Kagurazaka Ona
Turn Back
a Novel by Azizahazeha
Sudah dua hari ini, Pariono hanya bisa menggeleng kepala di balik meja kerjanya. Sesekali dia mengambil napas panjang. Seakan-akan tak percaya dengan apa yang terjadi.
Kemarin, lelaki tiga puluh tahun itu telat ngantor, tidak banyak, hanya delapan menit. Dia masih bisa tersenyum semringah. Meski juga masih menyimpan keheranan. Sebab tak pernah ia telat sampai begitu lama. Meski kerap tidur seusai subuh. Barangkali karena cuaca yang begitu dingin, membuat tubuhnya menolak untuk keluar dari selimut.
Sedang pagi ini, dia benar-benar tak habis pikir. Melongok ke layar gawainya, sudah pukul 8:42. Segera saja dia melonjak dari kasur tipisnya ke kamar mandi, membasahi tubuh secepat kilat tanpa memakai sabun, berganti pakaian, menuruni tangga, meninggalkan jatah sarapan.
Sampai di gerbang biru tempatnya bekerja, waktu menunjukkan pukul 8:50. Padahal seharusnya kantor travel umroh haji itu buka pukul 8:30. Bersamaan dengan itu, pimpinannya datang memarkir mobil pajero hitam. Keluar dengan berkacak pinggang. Semacam terkena sidak dadakan, bulir-bulir keringat dingin meluncur di dahinya. Prestasinya yang tak pernah telat selama 3 bulan terakhir seolah tak berarti. Hari pertama dari selesainya masa percobaan malah menjadi hari yang paling nahas.
Pariono masih menanti dengan was-was. Menanti keputusan para pimpinan yang sedang berada di ruang meeting. Dua puluh menit jika dibanding dengan tiga bulan kedisiplinannya, harusnya masih bisa menyelamatkan mukanya. Dia kembali mengambil napas panjang dan berharap yang terbaik dengan pasrahnya.
Suara tapak sepatu terdengar menuruni tangga. Beberapa pimpinan menuruni tangga, menuju pintu keluar melewati meja kerja Pariono dengan tatapan dingin. Tamat riwayatku, batinnya.
Tampak orang terakhir yang turun, Pak Nande, pak kepala cabang. Dengan langkah tegap dan tanpa senyum, lelaki paruh baya itu memberikan amplop, gaji bulan ini.
"Tolong tanda tangan di sini, Pak," pintanya.
Dengan gemetar Pariono membubuhkan tanda tangan. Sementara Pak Nande mengambil satu amplop lagi dari tas.
"Dan ini, ada tambahan sebanyak setengah gaji bapak. Mulai besok bapak bisa istirahat di rumah."
Deg, rasanya sesak. Andai Pariono bukan lelaki, mungkin ia sudah menangis sesenggukan. "Ba-baik, terima kasih, Pak."
---
Pukul 17:00 akhirnya, hari yang begitu panjang telah berakhir. Dengan agak lunglai dia meninggalkan kantor. Sembari merutuki diri sendiri.
Sampai di rumah, yang tak jauh dari kantornya, ia termenung di depan tv. Memindah channel tv dengan tatapan kosong.
---
Menjelang tidur, Pariono masih belum juga mampu memaafkan diri sendiri. Tinggal di rumah sendirian, membuatnya bingung, tak ada tempat untuk bercerita. Mau bercerita ke tunangannya pun ia ragu.
Tergolek di kasur, dengan menatap layar hape. Pariono membuka lini masa media sosialnya. Sedikit menghibur, tapi ia tak berani menulis apapun. Hingga akhirnya ia membaca status temannya yang berdagang jagung manis.
Dengan segeri ia menuliskan komentar, bertanya harga kiloan jagung manisnya. Ia bangkit, duduk di atas kasur tipis. Meraih tas dan mengeluarkan amplopnya. Menghitung pundi rupiah yang ia terima tadi. Bersyukur masih diberi pesangon walau setengah gaji.
Setelah menghitung ini dan itu, ia mantap, besok lusa akan berjualan jagung manis rebus keliling. Sebab ia ingat, di gudang ada bekas gerobak bakso bapaknya. Besok pagi akan ia rombak sedikit. Jika memungkinkan, akan ia tambah pemanggang, untuk menambah menu jagung bakar.
Malam ini, ia nampak terlelap dengan lega. Karena seharian sibuk mencerca diri sendiri, ia sampai tak sempat bertanya, kenapa langsung dipecat, bukankah seharusnya ada surat peringatan atau teguran. Ah, tak lagi penting, mungkin berjualan sebagaimana profesi bapaknya dulu memang lebih cocok.
AM. Hafs
Singosari, 3-2-2017
Pagi sekali, aku sudah ada di keramaian pasar. Menelusuri jalan becek sisa hujan semalam. Sesekali aku mengamati sekitar, mencari bahan buat tulisan, selagi aku menuju ke arah toko topeng langgananku di pojok pertigaan belakang komplek pasar.
Sebagaimana umumnya pasar yang tidak hanya ramai oleh suara yang hampir tak bisa disaring, tapi juga tempat berkumpulnya segala macam bau. Dari yang sedap sampai yang menyengat. Sampah-sampah berjejer di sudut-sudut jalan, seperti penumpang yang tengah menunggu bus di halte. Mereka pun tengah menunggu mobil sampah.
Pasar ini nampak tua, tak hanya dari bangunan, tapi juga penjualnya. Para nenek yang berjualan di badan trotoar dalam cukup mendominasi. Barangkali memang itu harapan mereka, jangan sampai anakku mengikuti jejakku. Mereka harus lebih baik. Paling tidak, jika harus berjualan, mereka harus berjualan di dalam pasar. Bebas dari hujan dan panas. Tanpa nenek-nenek itu tahu jika yang di dalam pasar tengah mengelu akibat biaya retribusi yang kembali dinaikkan. Oh kehidupan.
Dari jalan raya, ke timur, sekarang aku belok ke selatan. Toko topeng yang kutuju telah nampak. Kacanya yang kusam seperti tak pernah dibersihkan. Dari pada toko topeng, aku lebih melihatnya seperti toko alat sihir.
Jam di gawaiku masih menunjukkan pukul 9. Cukup sepi. Setelah uluk salam aku masuk seperti biasa dan langsung menuju ke dapur. Mat Rabon ... teman masa kecilku yang kini meneruskan usaha bapaknya tengah sarapan dengan lahap, tersenyum menyambutku.
Biasanya, ketika ke sini aku menghabiskan waktu untuk sekadar mengisi waktu luang, menanti dhuhur. Kadang juga sambil main catur. Tapi kali ini, aku meminta dia membuatkan topeng khusus buatku.
"Yakin? Mau pakai topeng lagi?" tanyanya menyelidik. Sebab dulu pernah, setelah mencoba memesan sebuah topeng, aku tak betah memakainya. Hanya kupakai sehari, dan berakhir sebagai pajangan dinding.
"Yakin, tapi kali ini khusus," tegasku.
"Khusus gimana?" tanyanya sebelum meneguk segelas air putih.
"Begini, kamu tahu kan kalau aku baru saja masuk ke dunia kepenulisan. Ternyata dunia itu mengerikan."
"Mengerikan bagaimana?"
"Emm ... pokoknya mengerikan. Antar teman bisa jadi musuh hanya karena beda pandangan yang tertuang dalam.tulisan. Apalagi kalau sudah saling berbalas, lebih mirip orang sedang bertengkar."
"Lalu? Apa kamu punya musuh? Lalu mau bersembunyi di balik topeng?"
"Tidak, bukan begitu. Aku malah selama ini mencoba berada di tengah. Tapi tetap saja, aku tak benar-benar di tengah. Dan ... ummm ... dengan wajah asli ini, aku merasa terlalu berisik. Kau tahu, tiap tulisanku diapresiasi, ada semacam kegirangan di dalam hati. Mungkin memang wajar, tapi kalau terus-terusan seperti ini, aku khawatir bisa kelewat batas."
"Aku bingung." Mat menggaruk belakang kepalanya, "Intinya gimana? Yang kutahu hanyalah membuat topeng sesuai pesanan. Entah topeng itu dipakai buat apa, tak pernah kupikirkan." Dia nyengir.
"Yah sederhananya begini." Aku menarik kursi dari kolong meja makannya, duduk dan melanjutkan, "Aku ingin memakai topeng agar bisa jadi remku. Intinya itu."
"Aku masih bingung, tapi terserahlah. Toh tugasku bukan mengetahui untuk apa, tapi cuma seperti apa topeng yang kubuat. Dan untukmu, sepertinya aku akan membuatkan topeng petruk yang bijaksana dalam canda. Semoga cocok."
"Humm petruk, boleh boleh." Aku tersenyum, "Mat, mbok ya kalau sama aku, topeng senyummu itu dilepas."
Dia terkekeh, lalu mencopot topengnya. Tampaklah muka sedih yang ia sembunyikan dua tahun belakangan.
"Oalah, Mat. Sebentar lagi sudah seribu hari bapakmu. Janganlah sedih lagi, kasihan bapakmu di sana. Ikhlaskanlah. Dan sepertinya, kamu perlu segera menikah, biar ada yang bantu menata dan merawat tokomu.
"Hah, menikah. Memangnya siapa yang mau sama tukang penjual topeng, Gus?"
"Aih, kamu ingat Santi anak Pakde Ranto, penjual gorengan depan sekolah?"
"Gadis ingusan yang dulu itu?"
"Yap! Dia sekarang sudah gadis. Cantik dan bahenol," godaku.
"Terus? Apa hubungannya denganku?"
"Sewaktu kemarin aku mengantar undangan rapat karang taruna, tak sengaja aku melihat dia sedang membersihkan topeng hadiah darimu dulu. Sepertinya dia merawatnya dengan baik."
"Wah? Topeng senyum yang mirip denganku ini? Yang tak kasihkan waktu dia menangis gara-gara diejek teman-temannya?"
"Betul! Waktu melihatku, dia seperti kaget. Pas aku ngasihkan undangan, dia sempat bertanya tentangmu," Aku tersenyum.
"Ah yang bener?"
"Iya, dan dia juga menitip pesan buatmu."
"Hah?" Senyumnya tiba-tiba mengembang, jauh lebih mekar dari senyum topeng di meja makan, "Pesan apa?"
"Sabar, yang pastinya kabar baik. Tapi nanti. Setelah topengku jadi." Aku tertawa licik.
"Oh Gemblung." Wajahnya nampak gregetan. Aku tersenyum puas penuh kemenangan.
"Ya sudah, kukerjakan sekarang."
Ia bangkit dari tempat duduk. Mengambil topengnya sebelum kutahan dan berkata, "Kau tak butuh ini lagi." Lalu tersenyum bersama.
AM. Hafs
Singosari, 2-2-2017
Jangan Sentuh Aku
Aggia Cossito
Jangan Sentuh Aku
