2 Juli 2015
Bip bip...
Hafs : Apakah kini kau sadari, Aku cemburu dengan caramu mencintainya?
Bait demi bait masuk ke dalam ponselnya.
Dialog panjang tentang dua sisi kehidupan yang bersamaan menggedor
kesadarannya. Azkina menatap ponsel dengan gamang. Allah menegurnya persis
seperti yang dia minta. Keras, gamblang, jelas.
16 Juni 2015
“Tidak apa, lakukan keduanya, biar dunia
akhiratmu berjalan berimbang. Fiddunya khasanah wa fil akhrati khasanah,” begitu jawab yang didengarnya, menenangkan, mendamaikan.
Azkina tak ingin melepas salah satu, tapi menjalani
hidup di dua kota yang berbeda juga tak mungkin. Kemudian Ibu memberinya jalan keluar
terbaik.
Migrain sempat menyerangnya sebelum berangkat ke
sini tadi. Bingung
memikirkan berbagai pilihan yang datang pada saat bersamaan. Menuju tempat ini rasanya seperti akan
berangkat ke medan perang, berat. Tak sepenuhnya salah karena ke sini adalah
bermakna komitmen jangka panjang. Tapi tak sepenuhnya benar juga karena tempat
ini begitu damai, jauh dari tampilan medan perang.
Kedatangannya cukup menarik beberapa pasang
mata mengamati. Bukan hanya penampilannya yang berbeda, tapi barangkali juga
sikapnya.
Azkina duduk menunggu di ruang tamu yang
lantainya ditinggikan selutut dari pelataran. Sudah pun ditinggikan, masih pula bersofa, bukan
lesehan. Terasa makin menjulang dibanding gadis-gadis muda bersarung batik yang
lalu lalang di pelataran.
Kemudian ada salah satu dari mereka yang
mendekat ke arah ruang tamu, menekuk lutut ke lantai, berjalan dengan kedua
lututnya. Azkina masih takjub, bingung harus bereaksi bagaimana, hanya
secepatnya menurunkan kaki kanannya dari kaki kiri. Rasanya seperti
diperlakukan berlebihan.
“Dipun
tenggo sekedhap, nggih. Ditunggu sebentar, ya. Masih ada tamu di dalam,”
kata gadis itu sambil menunduk.
“Inggih,”
jawab Azkina.
Sekitar dua puluh menit kemudian ada dua gadis
menghampirinya lagi.
“Monggo
nenggo wonten nglebet kemawon. Ngapunten, Panjenengan paring asmo sinten? Silakan menunggu di dalam saja. Maaf, Mbak namanya siapa?”
Azkina gugup menjawab karena dua gadis itu tak
hanya mengulurkan tangan mengajak bersalaman, tapi juga mencium tangan Azkina.
Sebegitu tingginya mereka menghormati tamu.
“Azkina....”
Azkina mengikuti keduanya ke ruang tamu dalam.
Ruangan tamu dalam yang dimaksud sesungguhnya justru di luar, dikelilingi
pelataran dalam berlantai paving dan pepohonan rindang. Ada dua set kursi tamu
yang disatukan memanjang. Azkina mengambil tempat paling dalam, ingin mengamati
kegiatan orang-orang di sini.
Besok 1 Ramadhan. Terlihat beberapa gadis
berjongkok bertelanjang kaki menggosok paving, mempersiapkan tempat tarawih
sepertinya. Ceria, dan penuh semangat. Ada lagi yang sedang membaca buku di
teras. Di ujung sana ada ruangan penuh dengan jamaah sholat yang belum bubar.
Ada yang berdesir di hatinya. Azkina merasa
pulang, tapi pada saat yang sama dia merasa sangat asing di tempat ini.
Saat akhirnya bertemu Ibu, dia makin tersiksa
dengan perasaan itu. Apa yang salah? Rasanya Azkina sudah berusaha berbahasa Jawa
terhalus yang dia bisa. Tapi rasanya belepotan.
Azkina membandingkan diri dengan gadis-gadis
itu. Hatinya basah. Dia sudah jauh tertinggal. Sorot matanya tidak seteduh
mereka. Bahkan Azkina bingung kapan harus menunduk atau melihat saat berbicara.
Badannya tidak lagi otomatis bersikap tawaddu’,
semua serba penuh perhitungan dan pemikiran, khawatir dianggap terlalu
‘berani’, tidak ada yang alami.
Hidup yang selama ini biasa baginya mendadak
terasa sangat salah mengajarkan makna keberanian. Hatinya keras. Matanya
terlalu nyalang. Entah sudah berapa kali dia beradu argumen dengan rekan kerja
atau kawan, bahkan bila itu atasan. Azkina sebenarnya bukan orang talkative,
tapi saat ditekan bisa sangat keras melawan.
Ibu, memakluminya. Begitu lembut menatap Azkina
yang seperti tertatih-tatih memutuskan ke sini. Mendengar semua inginnya. Tanpa
bertanya, kenapa Azkina tiba-tiba pulang.
“Kembalilah. Dia bisa menjadi teman terbaikmu
di saat sendirian. Jangan lagi kau lepaskan,” begitu pesan Ibu.
Lalu buncah di hatinya seakan tak terbendung. Azkina
tak tahu apa namanya. Azkina sama sekali tidak bercerita. Hanya barangkali
naluri seorang ibu selalu tahu tanpa bertanya. Kalau tak malu, rasanya ingin
bersimpuh memeluk kaki wanita di hadapannya.
Azkina tidak lagi merasa sendirian. Hatinya
yang kering mendadak seperti basah. Matanya yang tak pernah basah oleh air mata lalu
menghujan.
Aku pulang Allah.
[bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar