Apa yang dikerjakan oleh masyarakat Aceh terdahulu selama bulan puasa Ramadhan?
Pertanyaan ini, memaksa saya membuka dokumen-dokumen tempo dulu, baik
dari sumber manuskrip Aceh ataupun catatan-catatan orang asing.
Ternyata, informasi yang diperoleh cukup beragam dan berharga,
setidaknya menjadi cerminan dan intropeksi untuk untuk generasi saat
ini.
Waktu senggang di bulan Ramadhan dianggap paling efektif untuk
mengisi hari para intelektual “junior” dan “senior” (syaikh) untuk
menyalin dan mengarang kitab.
Itulah kemudian beberapa manuskrip yang ditemui saat ini banyak yang
ditulis ulang (disalin) pada bulan Ramadhan atau setelahnya. Hal
tersebut dapat ditelusuri di kolofon teks, atau bagian penutup dari
sebuah kitab, terutama pada kitab-kitab yang menjadi panduan ataupun
rujukan.
Pada masa ini juga dianggap paling baik untuk penyebaran manuskrip ke
luar Aceh, sebab pasca bulan Ramadhan, jamaah haji dari wilayah
Melayu-Nusantara naik haji ke Mekkah melalui jalur laut Selat Malaka,
dan posisi strategis Aceh menjadikannya sebagai tempat transit (Pulau
Sabang dan atau Banda Aceh) bagi jamaah haji al-Jawiyyin (julukan bagi
orang-orang dari Asia Tenggara), karena itulah Aceh dijuluki sebagai
“Serambi Mekkah”.
Di sinilah manuskrip-manuskrip tersebut menyebar luar ke seluruh
Negara-negara tetangga, Thailand, Filiphina, Brunai Darussalam dan
seluruh kawasan Indonesia, bahkan hingga ke Mekkah-Madinah (Haramain).
Kitab-kitab yang dianggap menarik untuk dipelajari oleh banyak
jamaah, maka akan disalin ulang selama perjalanan di kapal laut. Mereka
memperbanyak untuk dipelajari, terutama kitab-kitab yang banyak dibahas
dan menarik, terutama karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani.
Nuruddin Ar-Raniry, dan Abdurrauf al-Fansuri, Muhammad Khatib Langgien,
dan Abdullah Al-Asyi, dan hikayat-hikayat perang Aceh.
Baca juga :
Manuskrip yang menyebar biasanya kitab-kitab hukum, fikih,grammar (tata bahasa), tauhid dan tasawuf. Salah satunya kitabMir’at Ath-Thullab karya
Abdurrauf al-Fansuri (Syiah Kuala) pada era Sultanah Safiyatuddin Tajul
Alam (1641-1675) dalam bidang fikih muamalah dan munakahat yang
dikoleksi Yayasan Pendidikan & Museum Ali Hasjmy (YPMAH) disalin
pada hari Sabtu 14 Ramadhan pada masa Sultan Ibn Alauddin Mahmud Syah
(Naskah No. 105/FK/I/YPAH).
Hal yang sama juga terdapat pada kitab Syarh al-Baiquni fi Mustalah ‘Ilm al-Hadist (No. 156/HD/3/YPAH) disalin oleh Husain bin al-Marhum Abu Bakar al-Asyi dan kitab Bidayat al-Mubtadi bi-Fadhli Allah al-Muhdi (No. 31/FK/20/YPAH) yang keduanya disalin di bulan puasa.
Senada dengan manuskrip-manuskrip yang tersimpan Museum Aceh, misalnya kitab tatabahasa yang tersohor berjudul Qatr an-Nida’ (No.
07.1383) karya ulama Arab Abu Abdullah Jamaluddin Muhammad ibn Yusuf
ibn Hisyam Al-Anshari, yang disalin oleh Leube Adam Amud pada hari
Senin, 25 Ramadhan, masa Sultan ‘Alauddin Muhammad Syah.
Dikutip dari www.serambinews.com
[PENULIS HERMANSYAH, MA.Hum, Adalah dosen Bidang Teks Klasik dan Kajian Naskah pada Prodi SKI Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, dan Peneliti Manuskrip]
Sumber : http://ilmumenulis.com/?p=258
Tidak ada komentar:
Posting Komentar