“Kita takkan berhasil, Mbak Rin. Saya ragu kita mampu melakukannya.
Sementara saya sendiri sedang butuh makanan bergizi untuk otak yang lagi buntu
ini.”
“Apa kendalamu, Hafid? Coba ceritakan. Siapa tahu aku dan yang lain
bisa membantu.” Aku mencoba mengorek kegelisahannya. Hafid tak boleh patah
arang. Dia orang kedua di tim ini. Karena duetku dengannya, kami bisa
meneruskan cerpen Keping Hati menjadi sebuah novel. Tentu saja, Hafid harus
tetap menulis.
“Sebenarnya tak ada masalah, Mbak. Hanya saja, aku mengalami yang
namanya writer’s block. Apa yang
tertuang dari jemariku, tak lebih dari lima kalimat. Ini penyakit yang sungguh
membuat sesak para penulis. Apalagi pemula sepertiku.”
Aku menghela napas menyelami kata-kata yang dituliskan Hafid. Memang
kuperhatikan akhir-akhir ini, dia jarang sekali menulis. Kupikir ia sibuk
dengan pekerjaannya. Tapi, writer’s
block? Oh, tidak!
“Ha, maaf bila kata-kataku sedikit keras. Dalam pikiranku, yang namanya
writer’s block itu tak ada. Yang ada
itu hanya malas. Mungkin aku memang nyeleneh, tapi kalau malas menyerang, aku
tidak memilih untuk diam dan tak menulis. Berhenti sejenak, itu harus. Namun
otak tetap harus bekerja mengumpulkan ide yang tak perlu jauh-jauh kita cari.
Lihat sekelilingmu. Banyak yang bisa diolah jadi cerita. Tak usah buru-buru
menuangkannya di dalam kertas atau media tulis lainnya. Mainkan dulu di
benakmu. Berulang-ulang. Seperti mereka-reka cerita, bedanya disimpan dalam
otak.”
“Tapi ini tak mudah bagi saya. Mbak tahu sendiri, betapa gemetarnya
saya menuliskan cerpen duet itu di awal. Dan ketika melanjutkannya jadi lebih
lebar, otak saya buyar.”
“Itu karena kamu belum menyelami tokoh yang kamu buat dalam kisahmu.”
“Maksud Mbak apa?”
“Begini, tokohmu Ruly, kan. Kamu harus menjadi dia tanpa harus menjadikan dia itu kamu.
Karakter Ruly seperti apa, kamu harus belajar memerankannya. Bedanya kita tidak
sedang direkam kamera. Tapi karakter itu terekam dalam tiap tulisan kita. Kalau
kamu bisa masuk ke tokohmu sendiri, berarti itu artinya berhasil juga membuat
pembacamu merasakan kehidupan tokoh dalam cerita yang mereka baca.”
“Ah, Tapi ini sungguh tak mudah. Saya tak tahu ke mana tokoh Ruly
berjalan. Ini tambah rumit sebab kita menulis cerita ini dengan banyak kepala.
Jalan cerita yang kuinginkan tentu tak sama dengan teman-teman yang lain.”
Apa yang Hafid katakan memang benar. Tapi inilah tantangannya. Aku
memutar otak untuk menjelaskan dengan bahasa yang baik. Aku sadar, kadang kala
kata-kataku sangat keras. Mungkin juga membuatnya dan teman-teman yang lain
tersinggung.
“Begini, Hafid. Makanya, kita selalu berkomunikasi, kan ..., jalan cerita
kita seperti apa. Ambil benang merahnya, kita satukan alur cerita jadi utuh.
Memang susah menyatukan tujuh isi kepala kita. Tapi tak ada yang tak mungkin
bila kita mencoba.”
“Mbak Rina, saya mengerti dan paham maksudnya. Namun, saya masih merasa
belum bisa terjun ke dalamnya. Rasanya ingin mundur saja.”
“Mundur? Bagaimana mungkin, kita sudah separuh jalan. Lagi pula ini
kesempatan bagusmu untuk mewujudkan mimpi menjadi penulis.” Aku tak habis pikir
Hafid mengeluarkan kata-kata putus asa seperti itu. Aku memilihnya pertama kali
untuk menjadi rekan duet karena melihat kisah yang dia tulis. Sang Pemimpi,
cerita kehidupannya tentang keinginan terbesar seorang pemuda yang tak lulus
SMU namun bermimpi menjadi seorang penulis hebat.
“Aku tak mau kamu mundur! Kamu tak sendiri, kita punya lima teman
lainnya yang saling bergenggaman tangan. Ayo kita raih puncak bersama-sama.
Kita sama-sama memulainya dari awal. Tidak ada yang lebih pintar di antara
kita. Ini tempat yang sudah disediakan Allah buat kita. Tempat kita belajar.
Kalau kamu mundur, sungguh kamu menyia-nyiakan kesempatan baik ini.”
“Kok gitu sih, Mbak? Saya hanya merasa kebuntuan ini penyakit parah.
Mungkin lebih baik saya mundur, agar tak menghambat teman-teman yang lain.”
“Penyakit parah? Tidak, selama kamu bisa mengatasi kemalasanmu, buntu
tidak jadi soal. Sini kukasih tahu, tiga penyakit penulis yang justru lebih
parah dari sekadar writer’s block.”
“Emang ada?”
“Ada, ini juga kudapat dari membaca. Mungkin kamu pernah juga
menemukannya di internet, tapi tak ada salahnya kubagikan. Penyakit pertama,
Kudis. Kurang Disiplin. Nah ini, bisa dikaitkan sama kemalasanmu tadi. Kalau di
hatimu sudah ada tekad, aku harus teratus menulis. Ibarat makan obat, tiga kali
sehari, menulislah minimal sehari satu kali. Membiasakan diri menulis kisah,
mau panjang atau pendek terserah. Yang penting kamu berusaha untuk disiplin.
Bukan hanya disiplin waktu, tapi disiplin juga membiasakan diri menulis dengan
baik dan benar.”
“Kayak penyakit kulit aja, Kudis, hahaha.”
“Tunggu dulu, yang kedua, Kurap. Nah penyakit kulit lagi ya? Hehehe,
Kurang Rapi. Bagaimana sih menulis yang rapi? Yang tidak asal menulis, paragraf
yang baik, tanda baca yang benar, dan lain-lain yang menunjang kerapian
tulisanmu. Alur yang baik juga masuk di sini.”
“Ya ya, saya mulai paham.”
“Jangan hanya mulai, tapi memang harus memahami ini. Yang ketiga, Kutil.
Kurang Teliti. Coba, ini penyakit yang paling sering kita derita. Tak teliti.
Typo, ejaan yang salah dan banyak lagi yang menyangkut ketelitian kita. Salah
ketik bisa berakibat fatal. Ya masih banyak sih penyakit lainnya, cuma bagiku,
ketiga penyakit ini memang tak jarang kita alami. Bahkan penulis yang sudah
punya nama saja masih sering menderita salah satu di antaranya.”
“Hmm. Benar juga ya. Tapi, Mbak ...”
“Apalagi? Masih berkeras hati ingin mundur?”
“Hmm ...”
“Aku yakin, teman-teman yang lain juga tak ingin kamu mundur. Kita
sudah berjanji, ingin berdiri bersama di puncak. Kalau ada yang jatuh, kita
saling mengangkat. Keputusan memang di tanganmu, tapi coba pikirkan kembali.
Saat kamu bermimpi, ada yang membangunkanmu dan mengajak mewujudkan impian, kamu
justru berhenti. Tidakkah impianmu menguap begitu saja? Tinggal beberapa
langkah lagi. Aku tak bisa memaksa. Tapi sukses menjadi penulis tidak akan kau
raih bila tidak kau kejar.”
“Benar, Mas Hafid. Kami, khususnya Sa, tidak akan rela bila Mas Hafid mundur.”
Aku terharu begitu membaca pesan dari Susie Salwa. Ya, aku tahu, apa
yang kukatakan sudah bisa mewakili teman-teman. Seharusnya Hafid tahu, kami
takkan lengkap tanpanya. Perjuangan selama beberapa hari, siang malam, tak adil
rasanya bila tiba-tiba salah seorang dari kami harus berakhir dan menyudahi
perjuangannya.
Kata-kata yang sama ditulis oleh anggota tim yang lain. Mila, Uni Dona,
Mbak Nie dan Dek Hana. Kami semua tak mau ini usai begitu saja. Kami bukan
penulis ternama, tapi ingin menjadi penulis sukses dan hebat.
“Maafkan saya teman-teman. Jangan dulu merasa kehilangan. Saya masih di
sini kan? Saya hanya rehat sejenak. Tak ingin cerita novel ini terhenti hanya
karena ketidakhadiran saya beberapa hari ini.”
“Mas Hafid, saya yang harusnya mengucapkan itu. Saya menyadari
kontribusi saya pada kebersamaan ini sangatlah sedikit. Saya yang merasa tak
pantas berada di tengah-tengah kalian.”
Waduh, tuh kan, merembet. Sekarang malah Mbak Nie yang merasa tak enak
hati. Memang Mbak Nie paling jarang muncul, tapi itu bukan tanpa alasan.
Menjadi tenaga kerja wanita di Kuwait memang terkendala waktu.
“Hei, hei, hei ..., tak boleh ada yang punya pikiran tak pantas lagi di
dalam sini. Siapa pun, punya andil dalam karya besar kita ini. Tidak ada yang
lebih tidak ada yang kurang. Semua sama. Mulai sekarang, ayo buang semua
pikiran negatif dari benak kita. Satu hal saja yang harus terus tumbuh, kita
harus bisa, karena kita mampu.” Aku mencoba kembali membakar semangat
teman-teman.
Satu per satu kalimat penyemangat jiwa muncul di grup chat. Aku
tersenyum puas. Aku yakin teman-teman di mana pun mereka berada juga
mengembangkan senyuman di bibir. Perjuangan belum usai. Perjalanan masih
panjang. Walau naik ke puncak itu tertatih-tatih, tapi kami saling berpegang
erat.
~00~
Dua bulan setelahnya.
“Hai, dengan gembira, aku
mengabarkan, walau diterbitkan indie, kita berhasil membuktikan bahwa kita
benar-benar seorang penulis.” Kukirimkan cover novel Keping Hati di grup.
Tanggapan sukacita tumpah ruah di sana.
Aku menangis. Ini impianku selama enam tahun terakhir. Dan lebih
bahagia lagi hatiku, karena mampu membawa beberapa teman untuk bersama-sama
memetik buah keberhasilan kami.
“Mbak Rina, terima kasih telah memberi kesempatan ini kepada kami,
tepatnya saya. Saya tak tahu lagi harus berkata apa. Ini benar-benar hadiah
terindah buat saya.”
“Ssst, aku yang berterima kasih pada kalian semua. Tanpa kalian, Rina
tetaplah Rina. Seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa menulis untuk dirinya
sendiri. Tapi ada kalian, aku berani bangun dan menjadikan impian ini nyata.
Terima kasih.”
Sekarang, aku juga
teman-teman sedang menantikan cetakan pertama buku kami. Buku yang di dalamnya
tersirat betapa besar perjuangan kami. Betapa banyak pelajaran yang bisa
mendewasakan kami.
Tidak ada guru paling hebat selain pengalaman kita sendiri. Sebagai
ucapan syukur kami, semua keuntungan dari seratus penjualan pertama, akan kami
berikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Tak hanya itu, kami bertekad,
membagikan apa yang kami dapat selama proses belajar ini kepada siapa pun yang
juga ingin mewujudkan impian menjadi penulis. Ilmu yang kami punya takkan
sia-sia.
Terima kasih teman. Tanpamu, ilmuku beku.
Mantap Mbak.
BalasHapusSalut dengan tim ini.
Maju terus. Smangat! ^_^
Iyaa, terima kasih mbak Ade ... :)
Hapus