“Mbak, penulis ya? Sudah punya buku yang diterbitkan?”
Sesungguhnya, saya sedih sekali ketika ditanya begitu.
Kenapa sedih? Pertama, saya jadi ragu apakah saya seorang penulis? Kalau pun
benar saya penulis, kok ya saya belum punya satu pun buku yang di kavernya ada
nama saya. Kedua, seingat saya, enam tahun yang lalu mulai serius belajar
menulis agar jadi penulis. Pantaskah saya menyebut diri ini seorang Penulis?
Tapi kesedihan saya tak berakhir di pojokan kamar. Saya
bertekad untuk membuktikan pada semua bahwa saya memang seorang penulis dan
suatu saat nanti ada nama saya di kaver buku. Tidak hanya satu, ratusan!
Perjalanan menjadi seorang penulis itu tidak instan.
Bayangkan, berapa tahun saya menanti kesempatan baik. Memang tak semua orang
punya jalan yang sama. Tapi rasanya cukup indah buat saya berbagi kisah tentang
perjalanan menuju tempat yang saya idam-idamkan sejak dulu.
Saya tak pernah
menyerah walau sempat terhenti beberapa bulan karena urusan rumah tangga.
Diam-diam saya menggali potensi diri dengan terus berlatih menulis. Layaknya
pisau, akan tumpul bila tidak diasah. Saya tak mau impian menjadi penulis
berkarat.
Menulis tanpa membaca itu sama saja bohong. Membaca itu
perlu. Bagi saya itu seperti makanan bergizi tinggi untuk otak. Banyak ide yang
bisa diolah kembali. Selama tidak copy
paste, itu tidak jadi soal.
Dengan modal kemauan yang keras dan muka tebal, saya maju
terus pantang mundur. Bergabung dengan sebuah komunitas menulis, saya berhasil
menjadikan diri saya ‘ada’. Apa pun yang
saya tulis, itu adalah anak bagi saya. Dan sebagai ibu yang baik, tentu saya
memperlakukan anak-anak saya dengan baik pula. Curhatan yang tertuang meskipun
itu kisah yang buruk dari masa lalu, saya tetap menganggapnya bagai mutiara.
Tulisan saya bukanlah sampah, meski tak sedikit orang menganggap apa yang saya
tulis jelek. Kalau saya tidak menghargai tulisan saya, bagaimana orang lain
bisa menghargainya?
Banyak pelajaran yang saya ambil bahkan dari tulisan-tulisan
yang saya hasilkan. Saya percaya, menulis adalah terapi yang baik bagi
pertumbuhan jiwa. Hehehe. Kalau dulu saya lebih sering emosian, sekarang sudah
agak berkurang. Ya, menulis bisa membantu diri merubah sikap. Bagi saya itu
berhasil, mungkin juga berlaku buat orang lain.
Lantas, bagaimana akhirnya saya mampu mewujudkan mimpi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar