“Kalau Inge keluar dari rumah
ini, biar! Tapi Raga dan Olif tetap tinggal!” Bunyi hentakan kaki kursi
terdengar sampai dalam kamar. Jantungku berdegup kencang. Kutahu, perasaan Inge
pasti lebih tak karuan. Pintu kamar yang dibanting mungkin saja berteriak
kesakitan.
Aku
menenangkan Inge yang terus saja menangis sambil memasukkan beberapa pakaian ke
dalam tas. Olif, si kecil yang baru berusia lima puluh hari itu terlelap dalam
selimut hangatnya. Sementara di ruang tamu, suara papa mertuaku meledak-ledak.
Aku tak menyangka seperti ini kejadiannya.
Dua hari yang
lalu, aku tiba di Bandung. Kedatanganku yang kedua, setelah Inge, istriku,
lebih dahulu pulang ke rumah orangtuanya. Sebenarnya aku tak ingin tinggal di
sini. Kali pertama—dua minggu sebelum ini--, kuhabiskan dua malam di hotel
bersama Inge dan Olif. Aku tahu tidaklah nyaman bila bermalam di rumah
mertuaku. Mertua yang baru kutemui setelah dua tahun hidup bersama putri
sulungnya. Kami menikah tanpa restu darinya.
Cuaca Bandung
yang dingin semakin membekukan hati Inge dan papa mertuaku. Aku terjebak dalam
situasi yang tak bisa kukontrol. Inge keras. Begitupun papanya. Istriku tak
bisa menahan emosinya. Pagi tadi ia hanya meminta kartu keluarga untuk mengurus
surat-surat pernikahan kami. Ya, kedatanganku kali ini ingin meminta ‘lagi’
Inge secara resmi. Pernikahan dua tahun lalu itu sah secara agama, namun belum
dapat legalitas dari negara.
Ini semua
kesalahanku. Kalau saja dulu aku tidak ‘mengambil’ Inge, tentu hubungan anak
dan orang tua tidak seperti musuh dalam selimut. Dua tahun lalu aku
mengenalnya. Inge, seorang wanita mandiri dan sangat menarik hatiku. Aku jatuh
hati padanya begitupun dia. Kedekatanku padanya tidak direstui orangtua Inge.
Semua karena kami berbeda. Inge terlahir dalam keluarga yang berbeda agama
denganku.
Inge masih
menangis, si kecil Olif mulai terbangun mendengar keributan di kamar dan ruang
tamu. Aku menggendong Olif. Sementara Inge tetap teguh ingin keluar dari rumah.
Aku teringat sebulan lalu, saat Inge merengkek ingin pulang. Kerinduan pada
orang tuanya begitu besar. Sejak beberapa bulan sebelum menikah, Inge telah
ikut ke kota kelahiranku, Jogja. Lalu aku memutuskan ingin hijrah pula ke
Bandung setelah ditinggal istriku sebulan yang lalu. Aku berhenti kerja dan
berbekal uang tabungan, aku menyusul Inge. Tapi sungguh tak kusangka,
kepindahan ini hanya membawa air mata.
“Sudahlah, Ma.
Biar gimana juga itu orangtuamu. Jangan bicara terlalu kasar. Papamu itu sayang
sama kamu. Dia hanya kecewa, telah kita sakiti dulu.” Aku mendekati Inge dan
membelai rambutnya. Sesungguhnya aku juga sakit hati. Sebab mertuaku itu selalu
mengeluarkan kata-kata yang bikin hatiku kecewa.
“Sampai kapan pun, Papa gak punya menantu
bernama, Raga!”
“Papa tidak pernah menikahkan anak Papa!”
Olif ikut
menangis dalam buaianku. Sepertinya bayi perempuanku ini sedang kelaparan. Aku
meminta Inge untuk menghentikan tangisnya. Tak baik seorang ibu menyusui anak
dalam keadaan menangis atau tertekan. Inge sesengukkan. Ia mengambil nafas
panjang lalu menggendong Olif dan sengaja bersenandung kecil sambil menyusui.
“Habis ini,
minta maaf sama Papa ya... Akui kalau kita salah. Minta kesempatan padanya
untuk membuktikan kita bisa baik-baik saja. Kalau masalah kartu keluarga dan
surat lainnya, coba kita usahakan sendiri.” Aku berusaha melunakkan hati Inge.
Istriku itu tetap bersenandung. Namun bulir air mata turun lagi dari
pelupuknya. Aku tahu ia juga tak ingin ada kejadian ini. Ia begitu keras ingin
pulang ke orangtua, agar bisa lebih dekat. Bukan amarah yang ingin ia hadirkan
di sini.
Papa mertuaku
sudah tidak terdengar lagi suaranya. Ganti suara tivi. Sepertinya suasana sudah
mulai tenang. Olif juga sudah tidur lagi. Inge merebahkan kepalanya di atas
pangkuanku.
“Mas, kita
cari kontrakkan saja ya. Untuk sementara biar kita nginap di hotel.”
Aku membelai
rambutnya. Kupikir-pikir tentu akan lebih banyak menghabiskan biaya bila harus
bermalam di hotel. Ya Allah, sungguh aku tak bisa berbuat banyak. Seharusnya
kami tidak ada di sini. Aku masih belum menjawab.
Sebuah ketukan
mendarat di pintu kamar. Inge bangun dan membukanya.
“Olif gimana?”
Mama mertuaku masuk dan melihat keadaan Olif. Sedari tadi mama tak berkata
apa-apa. Tapi kulihat matanya sedikit bengkak. Rupanya habis menangis. Mama
mertuaku pendiam. Aku pernah beberapa kali bertemu dengannya sebelum aku
menikahi putrinya dulu. Dia memang menyatakan ketidaksetujuannya, memintaku
untuk menjauhi Inge. Namun cinta kami begitu kuat dan memilih terus berjuang.
Inge tak
menjawab pertanyaan mama. Ia hanya memberikan ruang untuk mama melihat cucu
pertamanya.
“Sudah, jangan
pergi kemana-mana. Besok, pindahlah ke rumah perum. Di sana juga tak ada yang
menempati. Tinggallah di sana sampai kamu dapat kontrakkan.”
Kata-kata mama
mertuaku barusan sungguh bak penyejuk di padang pasir. Sungguh bijak mama
mertuaku ini. Bagaimanapun ia tak ingin putri sulungnya kesusahan. Ya paling
tidak ia masih menganggapku suami dari Inge.
“Maafin Inge,
ya Ma!” Inge memeluk mama dan mulai terisak. Aku tak kuasa melihat dua wanita
menangis di hadapanku. Tak terasa matakupun basah. Kulihat mama pun ikut
meneteskan air mata.
“Ya Inge, Mama
ngerti perasaanmu, tapi coba pahami Papamu. Janganlah kamu ikut-ikutan keras.
Sana minta maaf sama Papa...!” Mama melepaskan pelukan Inge.
Istriku
menurut. Namun ia masih malu mengakui kesalahan kami. Ada ketakutan terpancar
dari wajahnya. Inge menarik tanganku untuk ikut keluar dan menemui papa.
Sesungguhnya akupun merasa takut menghadapi papa mertuaku. Ya tapi bukan
berarti aku pengecut. Aku hanya tak ingin salah lagi. Cukuplah omongannya bahwa
sampai kapanpun aku tak dianggap menantu. Aku tak mau menambah masalah.
Papa mertuaku
sedang menonton televisi. Inge berlari ke hadapannya dan bersimpuh. Tanpa
basa-basi, Inge menumpahkan permohonan maafnya. Aku melihat dari kejauhan.
“Papa sayang
kamu, Nak! Jangan lagi pergi!”
“Inge gak akan
pergi, Pa. Inge hanya sudah punya keluarga kecil.”
Aku
harap-harap cemas. Dalam hatiku berdoa, agar Inge tak salah bicara. Aku tak
ingin ada pertengkaran lagi.
“Inge sudah
menikah, sudah punya Olif. Biar bagaimanapun juga, itu cucu Papa. Inge mohon
Papa juga mengerti dan menerima semuanya. Inge juga sayang Papa. Sekarang Inge
sudah jadi mili Raga... dan itu takkan mengurangi rasa sayang Inge sama
orangtua.”
“Papa menerimamu kembali, Inge, juga Olif.
Tangan Papa terbuka untuk kalian.”
“Tapi Raga?”
Bukan cuma
Inge yang menunggu jawaban itu. Tapi detik menelan jawaban yang tak pernah
keluar dari bibir papa mertuaku. Aku pasrah. Hanya bisa menelan kenyataan ini
seorang diri. Seharusnya aku tahu, memang tak pernah dianggap menantu di
keluarga ini.
~oo~
Waktu bergulir
sewajarnya. Ini tahun keempat perjalanan rumah tanggaku dengan Inge. Kami sudah
tidak tinggal di rumah orangtua Inge. Aku bisa membawanya tinggal di sebuah
kontrakkan yang mungil namun asri. Sampai sekarang hubunganku dengan papa
mertua bisa dibilang tanpa komunikasi yang berarti. Sesekali aku mengajak
istriku mengunjungi orangtuanya dan selalu bermalam sehari. Tetap saja, aku dan
papa mertuaku nyaris tidak punya keinginan untuk berbicara dari hati ke hati
atau sekedar basa-basi bila bertemu. Beruntung aku masih memiliki mama mertua
yang tampak hatinya mulai melunak.
Ia selalu
menyempatkan diri memasak makanan yang enak bila tahu kami akan datang
berkunjung. Mama mertuaku bahkan ikut mengantar ke Jogja saat Inge memutuskan
berlibur. Ya, aku rasa, mama mertuaku sudah menganggapku menantu. Setidaknya
selama ini aku mampu membuktikan bahwa aku tak seburuk yang mereka kira.
Sesungguhnya,
aku menyadari keinginan terbesar papa mertuaku. Ingin putri sulungnya kembali.
Namun hakikatnya seorang istri, tentu akan mengikuti suaminya. Aku bersyukur,
Inge makin teguh dengan keputusannya. Tak kurang-kurang aku mendoakan mertuaku
dalam segala hal, meski kutahu itu takkan mengubah hatinya menerimaku menjadi
menantunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar